Jakarta, Media Gazamora— Terbitnya Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 kembali mengguncang sendi negara hukum. Regulasi ini dinilai bukan sekadar bermasalah, tetapi telah menjelma menjadi bentuk pembangkangan terbuka terhadap konstitusi, karena memberi karpet merah bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan strategis di 17 kementerian dan lembaga negara, meski telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang melarangnya secara tegas.
Kritik keras tersebut disampaikan John S.A. Sidabutar, SE., SH., CM., CDC., CPCA, praktisi hukum dan pengacara terkemuka, Pemilik dan Pemimpin JOHN SIDABUTAR, SE., SH & PARTNERS (JSP Law Office), serta salah satu Pendiri Indonesia Velocity Justitia (IVJ Law Office). John juga dikenal sebagai Mediator Non Hakim (MNH) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kota Depok, dan Kota Bekasi, serta menjabat Ketua II LSM PERAKI RI dan Penasehat Hukum Forum Pimpinan Redaksi Nasional (FPRN) serta media PENA 98.
Menurut John, Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang diucapkan pada 13 November 2025 telah secara eksplisit membatalkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Konsekuensinya tegas dan tidak membuka ruang tafsir: polisi aktif dilarang menduduki jabatan sipil, kecuali telah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
“Putusan MK itu final dan mengikat. Bukan imbauan, bukan rekomendasi, dan bukan pilihan. Polisi aktif harus keluar dari jabatan sipil. Titik,” tegas John.
Namun fakta di lapangan justru memperlihatkan arah sebaliknya. Pada 9 Desember 2025, hanya berselang kurang dari satu bulan setelah putusan MK dibacakan, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Perpol Nomor 10 Tahun 2025, yang secara terang-benderang mengatur penempatan anggota Polri aktif di 17 kementerian dan lembaga negara, mulai dari kementerian teknis, lembaga keuangan, intelijen, hingga lembaga penegak hukum.
“Ini bukan lagi soal perbedaan tafsir hukum. Ini adalah kontradiksi frontal dengan Putusan MK dan dapat dikualifikasikan sebagai ketidakpatuhan konstitusional,” ujar John kepada awak media di Jakarta, Senin (22/12/2025).
John menilai Perpol tersebut menunjukkan pergeseran paradigma kekuasaan yang berbahaya, dari authority by function menuju power by position. Dalam kerangka ini, kewenangan negara tidak lagi lahir dari fungsi kepolisian, melainkan dari penempatan struktural jabatan, yang membuka ruang dominasi institusi bersenjata di wilayah sipil.
“Negara ini sedang digiring ke logika kekuasaan. Yang dipertanyakan bukan lagi ‘apa fungsi Polri’, melainkan ‘jabatan apa saja yang bisa dikuasai Polri’,” kritiknya.
Ia juga menyoroti fakta krusial bahwa Perpol 10/2025 sama sekali tidak mencantumkan Putusan MK dalam konsideransnya. Menurut John, hal tersebut bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan indikasi kuat pengabaian sadar terhadap putusan konstitusional.
“Jika putusan MK tidak dirujuk, tidak ditindaklanjuti, bahkan dilawan dengan regulasi internal, maka sikap itu patut disebut inkonstitusional,” tegasnya.
Lebih jauh, John mengingatkan dampak serius dari kebijakan tersebut. Anggota Polri yang tetap aktif, masih berada dalam hierarki komando, tetapi menjalankan jabatan sipil, berpotensi melahirkan double loyalty, kaburnya akuntabilitas, serta penyusupan logika komando ke dalam sistem pemerintahan sipil.
“Ini membuka pintu detournement de pouvoir struktural, penyalahgunaan kewenangan secara sistemik yang sangat berbahaya bagi demokrasi dan supremasi sipil,” ujarnya.
John juga mempertanyakan dasar kewenangan Kapolri dalam menetapkan daftar kementerian dan lembaga tujuan penugasan. Menurutnya, UU Polri tidak pernah memberikan mandat atribusi kepada Kapolri untuk menentukan lembaga sipil mana saja yang boleh diisi oleh polisi aktif.
“Fungsi kepolisian tidak identik dengan fungsi birokrasi sipil. Ini prinsip elementer negara hukum yang justru sedang dilanggar,” katanya.
Ia menegaskan, ketidakpatuhan pemerintah dan aparatnya terhadap putusan MK akan berdampak langsung pada rusaknya budaya hukum nasional dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.
“Kalau aparat penegak hukum saja tidak patuh pada Putusan MK, lalu dengan legitimasi apa masyarakat dipaksa patuh pada hukum? Ini menghancurkan fondasi law abiding society,” tandasnya.
John menutup pernyataannya dengan penegasan keras bahwa negara tidak boleh menawar ketaatan terhadap putusan MK.
“Putusan MK bukan rekomendasi kebijakan. Ia adalah perintah konstitusi. Mengabaikannya berarti mempertaruhkan masa depan negara hukum,” pungkasnya.
(Editor: Polman Manalu)

